Dikabarkan bahwa Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesia Mining Association/IMA) siap menjalankan rencana Presiden Jokowi (Joko Widodo) soal larangan ekspor tembaga. Namun, IMA mempertanyakan peran Kementerian Perindustrian dalam larangan ini. Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno Soewanto menjelaskan selama ini tugas pengusaha tambang untuk hilirisasi sudah selesai. Namun peran Kemenperin yang dirasa kurang maksimal.
“Tambang sudah oke, kami sudah menjalankan. Nikel sudah ada smelter, bauksit sudah, timah sudah, kemudian tembaga sudah. Memang produk-produk dari smelter kami belum terserap semua, tapi yang bisa menyerap itu downstream industry yang dikendalikan oleh Kemenperin,” jelasnya kepada pada Rabu, 11 Januari.
Djoko menegaskan pihaknya tinggal menunggu bagaimana kesiapan industri. Jika pemerintah menyetop atau menetapkan pelarangan ekspor beberapa bahan mentah, maka Kemenperin harus kerja keras menyediakan ekosistem industri dasar di Indonesia.
Ia menjelaskan saat ini smelter tembaga di Indonesia baru akan ada 3, yakni milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN), PT Freeport Indonesia, kemudian PT Smelting yang bekerja sama dengan Freeport. “Pada prinsipnya IMA mendukung. Gak boleh impor gak boleh ekspor ‘oke’. Tinggal sekarang mau diapakan nih Pak (Jokowi), kami kan tunggu arahan Presiden,” tegasnya.
“Kalau Presiden bilang bikin industri, orang tambang suruh bikin industri ya gak bisa karena bukan tupoksinya. Kalau industrinya gak maju gimana, kami gak bisa apa-apa kan,” sambung Djoko.
Djoko mengkritik penyerapan olahan tembaga oleh industri dalam negeri kurang karena pihak industri tidak rajin. Ia menilai seharusnya pihak Kemenperin gencar melibatkan pihak swasta hingga mendatangkan investor. Kendati, Djoko tak mau berlarut-larut dan saling menyalahkan. Ia menekankan penting untuk meningkatkan koordinasi serta sinergi antar kementerian dan lembaga agar downstream industry bisa terwujud.
Larangan Ekspor Perintah Jokowi Patut Diapresiasi?
Di lain sisi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengapresiasi keberanian Jokowi melarang ekspor bahan mentah, mulai dari nikel, bauksit, hingga ke depan tembaga. Ada dua poin utama yang disoroti Fahmy dalam manuver Jokowi tersebut. Pertama, menaikkan nilai tambah. Kedua, membentuk ekosistem industri yang terkait dengan bahan baku tambang tersebut.
“Kalau ditunggu kesiapannya, gak akan pernah siap. Selamanya akan seperti itu sampai nanti kekayaan alam habis dan tidak bisa memberikan manfaat besar bagi kemakmuran rakyat,” jelasnya.
Dalam kacamata Fahmy, kebijakan larangan ekspor tembaga dalam jangka pendek akan membuat pengusaha dan negara kehilangan pendapatan dari ekspor. Hal itu disebabkan karena volume ekspor menurun.
Namun, ketika fasilitas hilirisasi siap, hasilnya akan memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar dan bisa dinikmati oleh pengusaha maupun negara. Hal tersebut bisa dicapai dalam jangka menengah hingga panjang.
Ia menilai persiapan hilirisasi tembaga tidak akan memakan waktu lama dengan asumsi pengusaha tidak mau terlalu lama menderita kerugian. Dengan begitu, akan muncul sikap untuk segera menyiapkan kebutuhan hilirisasi untuk menyesuaikan dengan kondisi atau kebijakan larangan ekspor hasil tambang.
“Saya perkirakan mungkin kurang dari 3 tahun sudah siap (hilirisasi tembaga) dan akan menaikkan nilai tambah, tapi dalam setahun awal akan terjadi penurunan. Tahun kedua saat hilirisasi sudah siap itu sudah akan kembali menaikkan pendapatan pengusaha maupun devisa negara,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi membuka kemungkinan melarang ekspor tembaga pada pertengahan tahun ini. Hal ini dilakukan agar bahan mentah dan mineral RI bisa memberikan nilai tambah bagi ekonomi dalam negeri.
Jokowi juga tidak takut jika kelak ada negara yang kembali menuntut Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) karena larangan untuk ekspor tersebut. “Masalah nikel kalah di WTO, kita terus, Justru kita tambah stop bauksit dan mungkin pertengahan tahun kita tambah lagi stop tembaga,” katanya dalam acara HUT PDIP ke-50 pada Selasa, 10 Januari.
Menurutnya, larangan ekspor tembaga dan bahan mentah sesuai dengan upaya Bung Karno yang menyatakan menolak imperialisme dan memperluas kerja sama yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, dengan hilirisasi tembaga Indonesia juga akan lebih diuntungkan dibanding ekspor bahan mentah.